Bidadari Calon Suamiku
Di kota Suffah tinggallah seorang pemuda bernama Zahid. Ia hidup pada zaman Rasulullah. Setiap hari ia tinggal di Masjid Madinah. Zahid memang bukan pemuda tampan. Di usianya yang ke-35, ia belum juga menikah.
Suatu hari, ketika Zahid tengah mengasah pedangnya, tiba-tiba Rasulullah datang dan mengucapkan salam kepadanya. Zahid kaget dan menjawabnya dengan gugup, “Wahai saudaraku Zahid, selama ini engkau tampak sendiri saja,”sapa Rasulullah.
“Allah bersamaku, wahai Rasulullah,” jawab Zahid.
“Maksudku, mengapa selama ini engkau masih melajang? Apakah tak ada dalam benakmu keinginan untuk menikah?” tanya beliau lagi.
Zahid menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ini lelaki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Apalagi wajahku sangat tidak memenuhi syarat. Siapa wanita yang mau denganku?”
“Mudah saja kalau kau mau!” kata Rasulullah menimpali.
Zahid hanya termangu. Tak lama kemudian Rasulullah memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat lamaran untuk lamaran wanita bernama Zulfah binti Said. Ia anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya ray dan cantik jelita. Surat itu pun segera diberikan kepada Zahid untuk diserahkan kepada Said. Setiba di sana ternyata Said tengah menerimma tamu. Maka usai mengucapkan surat tersebut tanpa masuk ke dalam rumah.
“Said saudaraku, aku membawa surat untukmu dari Rasul yang mulia,” kata Zahid.
Said menjawab,”Ini adalah kehormatan buatku.”
Surat itu dibuka dan dibacanya. Alangkah terperanjatnya Said usai mambaca surat tersebut. Tak heran, karena dalam tradisi Arab selama ini, perkawinan yang biasanya terjadi adalah seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan pula. Orang kaya harus kawin dengan si kaya juga. Itulah yang dinamakan “sekufu” (sederajat).
Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Saudaraku, benarkah surat ini dari Rasulullah?”
Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong?”
Dalam suasana demikian, Zulfah datang dan bertanya,”Ayah,mengapa engkau tampak tegang menghadapi tamu ini? Apa tak lebih baik bila ia disuruh masuk?”
“Anakku, Ia adalah pemuda yang sedang melamarmu. Dia akan menjadikan engkau istrinya,” kata ayahnya.
Di saat itulah Zulfah melihat Zahid. Ia pun menangis sejadi-jadinya.
“Ayah, banyak pemuda yang lebih tampan dan kaya raya. Semuanya menginginkan aku. Aku tak mau, Ayah!” jawab Zulfah merasa terhina.
Said pun berkata kepada Zahid, “Saudaraku, engkau tahu sendiri anakku merasa keberatan. Bukannya aku hendak menghalanginya. Maka sampaikanlah kepada Rasulullah bila lamaranmu ditolak.”
Mendengar nama Rasululllah disebut sang ayah, Zulfah berhenti menangis dan bertanya, “Mengapa ayah membawa-bawa nama Rasul?”
Said menjawab, “Lelaki yang datang melamarmu ini adalah karena perintah Rasulullah.”
Serta merta Zulfah mengucap istighfar berulang kali dan menyesali kelancangan perbuatannya itu. Lirih, wanita muda itu berkata kepada sang ayah, “Mengapa ayah tak mengatakannya sejak tadi bila yang melamarkan lelaki itu Raulullah. Kalau begitu keadaannya, nikahkan aku dengannya. Karena aku teringat firman Allah, ‘Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil Allah dan Rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung’.” (An-Nuur:51).”
Hati Zahid bagai melambung entah kemana. Ada semburat suka cita yang tergambar dalam rona wajahnya. Bahagia, itu yang pasti ia rasakan saat itu. Setiba di masjid ia bersujud syukur. Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid?” tanya Rasulullah.
“Alhamdulillah diterima, wahai Rasul,” jawab Zahid.
“Sudah ada persiapan?” tanya Rasulullah lagi.
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Rasulullah, aku tidak memiliki apa-apa.”
Rasulullah pun menyuruhnya ke rumah Abu Bakar, ‘Utsman, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah mendapatkan sejumlah uang yang cukup, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan pernikahan. Bersamaan dengan itu Rasulullah menyeru umat Islam untuk berperang menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.
Ketika Zahid sampai di masjid, ia melihat kaum Muslimin telah bersiap dengan persenjataannya. Zahid bertanya, “Ada apa ini?”
Shahabat menjawab, “Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita. Apakah engkau tidak mengetahiunya?”
Zahid pun beristighfar beberapa kali sambil berkata, “Wah kalau begitu aku lebih baik menjual perlengkapan perkawinan ini dan aku membeli kuda terbaik.”
“Tetapi Zahid, malam nanti adalah bulan madumu. Apakah engkau hendak pergi juga?” kata para shahabat menasihati.
“Tidak mungkin aku berdiam diri!” jawab Zahid tegas.
Lalu Zahid menyitir ayat “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah:24).
Akhirnya Zahid melangkah ke medan tempur sampai ia gugur.
Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”
Lalu Rasulullah membacakan Surah Ali ‘Imran ayat 169-170 dan Al-Baqarah ayat 154.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapatkan rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) telah mati. Sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Para shahabat pun meneteskan air mata. Bagaimana dengan Zulfah?
Mendengar kabar kematian Zahid, ia tulus berucap, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu. Andai aku tak dapat mendampinginya di dunia, izinkanlah aku mendampinginya di akhirat kelak.”
Demikian pintanya. Sebuah ekspresi cinta sejati dari dunia hingga akhirat. Cinta yang bersemi oleh ketaatan kepada titah Rasulullah, meski semula hati berontak.
No comments:
Post a Comment